BAB I
KONSEP
DASAR
A. Anatomi
dan Fisiologi Sistem Pernafasan
Saluran pernafasan atau tractus respiratorius
(respiratory rate) adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat
lintasan dan tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernafasan.
Saluran ini berpangkal pada hidung, faring, laring, trakhea, bronkus utama,
bronkus lobaris, bronkiolus dan paru-paru (Wibowo, 2005 : 68).
Sistem pernafasan berfungsi sebagai
pendistribusi udara dan penukaran gas sehingga oksigen dapat disuplai ke dan
karbon dioksida dikeluarkan dari sel-sel tubuh, karena sebagian besar dari
jutaan sel tubuh kita letaknya terlalu jauh dari tempat terjadinya pertukaran
gas, maka udara pertama-tama harus bertukaran dengan darah, darah harus
bersirkulasi dan akhirnya darah dan sel-sel harus melakukan pertukaran gas
(Asih, 2003 : 20).
Saluran pernafasan terbagi menjadi saluran pernafasan atas dan saluran
pernafasan bawah.
1. Saluran pernafasan atas
a. Hidung
Hidung merupakan
pintu masuk pertama udara yang kita hirup yang terbentuk dari dua tulang hidung
dan beberapa kartilago. Terdapat dua pintu pada dasar hidung yaitu nostril
(lubang hidung), atau neres eksternal yang dipisahkan oleh septum nasal di
bagian tengahnya.
b. Faring
Faring atau
tenggorokan adalah tuba muskular yang terletak di posterior ronggal nasal dan
oral dan di anterior vertebra servikalis. Faring dapat dibagi menjagi tiga
segmen :
1) Nasofaring : terletak di belakang rongga
nasal. Adenoid atau tonsil faringeal terletak pada dinding posterior nasofaring,
yaitu nodus limfe yang mengandung makrofag. Nasofaring adalah saluran yang
hanya dilalui oleh udara, tetapi bagian faring lainnya dapat dilalui baik oleh
udara maupun makanan.
2) Orofaring : terletak di belakang mulut.
Tonsil adenoid dan lingual pada dasar lidah, membentuk cincin jaringan limfatik
mengelilingi faring untuk menghancurkan patogen yang masuk ke dalam mukosa.
3) Laringofaring : merupakan bagian paling
inferior dari faring. Laringofaring ke arah anterior ke dalam laring dan ke
arah posterior ke dalam esofagus. Kontraksi dinding muskular orofaring dan
laringofaring merupakan bagian dari refleks menelan.
c. Laring
Fungsinya yaitu
berbicara adalah saluran pendek yang menghubungkan faring dengan trakhea.
Laring menjadi sarana pembentukan suara. Dinding laring terutama dibentuk oleh
tulang rawan (kartilago) dan bagian dalamnya dilapisi oleh membran mukosa
bersilia. Kartilago laring yang terbesar adalah kartilago tiroid : teraba pada
permukaan anterior leher (pada pria kartilago ini membesar yang disebut Adam’s
apple).
Epiglotis atau
kartilago epiglotik adalah kartilago yang paling atas, bentuknya seperti lidah
dan keseluruhannya dilapisi oleh membran mukosa. Selama menelan, laring
bergerak ke atas dan epiglotis tertekan ke bawah menutup glotis. Gerakan ini
mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam laring.
Pita suara terletak di kedua sisi glotis. Selama
bernapas pita suara tertahan di kedua sisi glotis sehingga udara dapat masuk
dan keluar dengan bebas dari trakhea.
2. Saluran pernafasan bawah
a. Trakhea
Terletak di depan
esofagus dan saat palpasi teraba sebagai struktur yang keras, kaku tepat di
permukaan anterior leher trakhea memanjang dari laring ke arah bawah ke dalam
rongga toraks tempatnya terbagi menjadi bronkhi kanan dan kiri. Dinding trakhea
disangga oleh cincin-cincin kartilago, otot polos dan serat elastik dan
dilapisi oleh membran mukosa bersilia yang banyak mengandung sel yang mensekresi
lendir.
b. Bronkhial dan alveoli
Ujung distal trakhea
membagi menjadi bronkhi primer kanan dan kiri yang terletak di dalam rongga
dada. Di dalam paru-paru membentuk cabang menjadi bronkhus sekunder. Fungsi
percabangan bronkhial untuk memberikan saluran bagi udara antara trakhea dan
alveoli. Sangat penting
artinya untuk menjaga agar jalan udara ini tetap terbuka dan bersih.
Unit fungsi paru atau
alveoli berjumlah sekitar 300 sampai 500 juta di dalam paru-paru pada rata-rata
orang dewasa. Fungsinya sebagai satu-satunya tempat pertukaran gas antara
lingkungan eksternal dan aliran darah. Setiap alveolus terdiri atas ruang udara
mikroskopik yang dikelilingi oleh dinding yang tipis yang terdiri atas satu
lapis epitel skuamosa. Diantara sel epitel terdapat sel-sel khusus yang
menyekresi lapisan molekul lipid seperti deterjen yang disebut surfaktan yang
melapisi permukaan dalam dinding alveolar.
c. Paru-paru
Paru-paru terletak di
kedua sisi jantung di dalam rongga dada dan dikelilingi serta dilindungi oleh
sangkar iga. Fungsi paru-paru adalah tempat terjadinya pertukaran gas antara
udara atmosfir dan udara dalam aliran darah. Setiap paru dibagi menjadi
kompartemen yang lebih kecil, pertama disebut lobus. Paru kanan terdiri atas
tiga lobus dan lebih besar dari kiri yang hanya terdiri atas dua lobus. Lapisan
yang membatasi antara lobus disebut fisura. Lobus kemudian membagi lagi menjadi
kompartemen yang lebih kecil dan dikenal sebagai segmen. Setiap segmen terdiri
atas banyak lobulus, yang masing-masing mempunyai bronkhiale, arteriole,
venula, dan pembuluh limfatik.
Dua lapis membran serosa mengelilingi setiap paru
dan disebut sebagai pleura. Lapisan terluar disebut pleura parietal yang
melapisi dinding dada dan mediastium. Lapisan di dalamnya disebut pleura
viseral yang mengelilingi paru dan dengan kuat melekat pada permukaan luarnya.
Rongga pleural ini mengandung cairan yang dihasilkan oleh sel-sel serosa di
dalam pleura yang fungsinya melicinkan permukaan dua membran pleura untuk
mengurangi gesekan saat paru-paru mengembang dan kontraksi saat bernafas.
d. Thoraks
Rongga thoraks
terdiri atas rongga pleura kanan dan kiri dan bagian tengah yang disebut
mediastrium. Thoraks mempunyai peran penting. Thoraks menjadi lebih besar
ketika dada dibusungkan dan menjadi lebih kecil ketika dikempeskan. Saat
diafragma berkontraksi, diafragma akan mendatar keluar dan dengan demikian
menarik dasar rongga thoraks ke arah bawah sehingga memperbesar volume thoraks
ketika diafragma rileks maka memperkecil volume rongga thoraks (Asih, 2003 :
3-9).
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap
menurut (Alsagaff, 2006 : 7) yaitu :
1.
Ventilasi
: yaitu pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru. Inspirasi yaitu pergerakan
udara dari luar ke dalam paru. Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari
dalam ke luar paru.
2.
Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini
disebut pernafasan luar.
3.
Transportasi gas melalui darah.
4.
Pertukaran
gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut pernafasan
dalam.
5.
Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta
pembuatan CO2 yang disebut juga pernafasan seluler.
B. Pengertian
Penyakit
Paru Obstruksi Menahun (PPOM) adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas,
termasuk bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan
kondisi yang terdapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik
dan mengurangi aliran udara (Baughman, 2000 : 444).
Penyakit
paru obstruksi menahun (PPOM) adalah kondisi kronis yang berhubungan dengan
riwayat emfisema, asma, bronkiektasis, merokok sigaret, atau terpajan pada
polusi udara, terdapat sumbatan jalan nafas yang secara progresif meningkat
(Tucker, 1998 : 237).
Penyakit
paru obtruksi menahun (PPOM) adalah aliran udara mengalami obstruksi yang
kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOM sesungguhnya
merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis kronis, dimana
keduanya menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves, 2001 : 41).
C. Etiologi
Faktor-faktor
resiko penting yang menyebabkan PPOM
1. Perokok kretek
2. Polusi udara
3. Pemajanan di tempat kerja
(batu bara, kapas, padi-padian)
Prosesnya dapat terjadi dalam rentang
lebih dari 20 sampai 30 tahun (Smeltzer, 2002 : 756).
Faktor
penyebab lain menurut (Doenges, 1999 : 152) alergen, masalah emosi, cuaca
dingin, latihan, obat, kimia, dan infeksi.
D. Manifestasi Klinik
1.
Batuk
2. Sputum atau mukoid, jika ada infeksi
menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot
pernafasan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas (Mansjoer, 2000 : 480)
Manifestasi
klinis dari PPOM adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak pada pagi
hari. Napas pendek sedang berkembang menjadi napas pendek akut. Batuk yang
produktif dahak memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak. Pasien sering mengalami infeksi pernapasan dan
kehilangan berat badan menurun atau cukup drastis, sehingga pada akhirnya
pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah
tangga. Pasien mudah lelah, mudah mengalami penurunan berat badan sebagai
akibat dari nafsu makan yang menurun. Penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan
selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal (Reeves, 2001 : 44).
E. Patofisiologi
Pada bronkhitis kronik maupun
emfisema terjadi penyempitan saluran nafas, penyempitan ini dapat mengakibatkan
obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronkhitis kronik, saluran
pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit
berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel
gobles. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi
kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2000 : 480).
Obstruksi jalan nafas
yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit. Pada
bronkitis kronis dan bronkiolitis penumpukan lendir dan sekresi yang sangat
banyak menyumbat jalan nafas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen
dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan
oleh overekstensi ruang udara yang mengalir ke dalam paru-paru (Smeltzer, 2002
: 594).
F. Pathway dan Masalah Keperawatan
¯
Asma
¯
Hipersensitifitas
trakhea bronkial
¯
Bronkospasme
edema mukosa
¯
Hipersekresi mukus
¯
Bunyi nafas tidak normal (mengi, ronki,
krakles)
¯
Batuk
menetap
¯
Kelemahan
¯
Pertanyaan tentang informasi
¯
Kurang
pengetahuan
Gangguan
istirahat tidur
¯
Hipoksia
jaringan
¯
Menurunnya
suplai O2 ke gastrointestinal tracktus
¯
Menurunnya
mortilitas
¯
Anoreksia
¯
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Polusi dan rokok
¯
Bronkitis
kronis
¯
Hipertrofi kelenjar mukus brokus jumlah sel gobles
¯
Saluran pernafasan menjadi kecil dan berkelok-kelok
(bronkospasme)
¯
Infiltrasi
sel-sel radang dan edema mukosa bronkus
¯
Obstruksi jalan nafas
¯
Aktivitas silia dan fagosit menurun
¯
Pembentukan dan timbunan mukus
¯
Merangsang batuk produktif
¯
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
¯
Ketidakseimbangan O2 dan CO2
¯
Saluran nafas kolabs saat respirasi
¯
Jebakan
udara
¯
Penggunaan
otot bantu pernafasan
¯
Keletihan
dan kelelahan
¯
Intoleransi aktivitas
|
Predisposisi genetik
¯
Emfisema
¯
Elastisitas
bronkus
¯
Penebalan
dan resistensi alveoli
¯
Peningkatan
resistensi jalan nafas
¯
Kerusakan
alveoli
¯
Gangguan
pertukaran
gas
¯
Tidak
adekuatnya pertahanan utama
¯
Resiko
tinggi terhadap infeksi
|
G. Pengkajian Dasar
Menurut
Doenges (2000 : 152-155) pengkajian dasar PPOM antara lain
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : a. Keletihan,
kelelahan, malaise
b. Ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c. Ketidakmampuan
untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tubuh tinggi.
d. Dispnea
pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda : a. Keletihan
b. Gelisah, insomnia
c. Kelelahan umum atau kehilangan massa otot
2. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : a. Peningkatan
tekanan darah
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia
berat, disritmia
c. Distensi vena leher
d. Edema tidak berhubungan dengan penyakit
jantung
e. Bunyi jantung redup
3. Integritas ego
Gejala : a. Peningkatan
faktor resiko
b. Perubahan
pola hidup
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan dan cairan
Gejala : a. Mual
atau muntah
b. Anoreksia
c. Penurunan
berat badan
Tanda : a. Turgor
kulit buruk
b. Edema
c. Berkeringat
d. Penurunan massa otot
5. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan
melakukan aktivitas
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernapasan
Gejala : a. Napas
pendek, rasa dada tertekan
b. Batuk
menetap dengan produksi sputum setiap hari
c. Riwayat
pneumonia berulang
d. Faktor
keluarga dan keturunan
e. Penggunaan
oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda : a. Pernafasan
cepat atau lambat, ekspirasi memanjang dengan mendengkur
b. Adanya
penggunaan otot bantu pernapasan
c. Bunyi
nafas redup dengan ekspirasi mengi
d. Perkusi hipersonan
e. Kesulitan bicara
f. Warna pucat dan sianosis bibir dan dasar kuku
g. Terdapat
jari tabuh (clupping finger)
7. Keamanan
Gejala : a. Riwayat
reaksi alergi, sensitif terhadap faktor lingkungan
b. Adanya
atau berulangnya infeksi
Tanda : Kemerahan atau berkeringat
8. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
9. Interaksi sosial
Gejala : a. Hubungan
ketergantungan
b. Kurang
sistem pendukung
c. Kegagalan
dukungan orang terdekat
d. Penyakit
lama
Tanda : a. Keterbatasan
mobilitas fisik
b. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga
lain
10. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : a. Penyalahgunaan
obat pernafasan
b. Kesulitan
menghentikan rokok
c. Penggunaan
alkohol secara teratur
Menurut Engram (1999 : 32-33) pengkajian dasar
PPOM antara lain :
1. Riwayat
atau adanya faktor-faktor penunjang :
a.
Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi
udara berat.
c.
Riwayat alergi pada keluarga.
d.
Riwayat asma pada masa anak-anak.
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksaserbasi, seperti alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur), stres
emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infeksi saluran napas,
kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
3. Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian sistem pernapasan yang
meliputi :
a. Manisfestasi klasik dari PPOM :
1)
Peningkatan dypsnea (paling sering ditemukan)
2) Penggunaan otot-otot asesori pernapasan
(retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping
hidung)
3)
Penurunan bunyi napas
4)
Takipnea
5)
Ortopnea
b. Gejala-gejala menetap pada proses penyakit dasar
1) Asma
a)Batuk (mungkin produktif atau
nonproduktif), dan perasaan dada seperti terikat.
b) Mengi saat inspirasi dan
ekspirasi, yang sering terdengar tanpa stetoskop.
c)Pernapasan cuping hidung.
d)
Ketakutan dan diaforesis
2) Bronkitis
a)Batuk produktif dengan sputum
berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari dan sering
diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
b)
Inspirasi ronki kasar (crakcles) dan mengi.
c)Sesak napas
3) Bronkitis (tahap lanjut)
a)Penampilan sianosis (karena polisitemia
yang terjadi sebagai akibat dari hipoksemia kronis).
b) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy”
(disebabkan oleh edem asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal);
secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue bloaters”.
4) Emfisema
a)Penampilan fisik kurus dengan dada
“barrel chest” (diameter toraks anterior-posterior meningkat sebagai akibat
hiperinflasi paru-paru).
b)
Fase ekspirasi memanjang.
5) Emfisema (tahap lanjut)
a)
Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis :
pasien ini sering digambarkan secara klinis sebagai “pink puffers”
b)
Jari-jari tubuh
4. Kaji
berat badan dan rata-rata masukan cairan dan diet harian.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X dada
Hiperinflasi
paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,
penurunan tanda vaskularisasi (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskular
(bronkitis).
2. Tes fungsi paru
Untuk menentukan
penyebab dipsnea, menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restruksi, dan untuk mengevaluasi efek terapi.
3. Kapasitas inspirasi : menurun
pada emfisema
4. Volume residu : meningkat pada
emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
5. GDA
PaO2
menurun, PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan
emfisema), dan menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi.
6. Bronkogram
Menunjukkan dilatasi
silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkhitis.
7. Kimia darah : meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
8. Sputum : menentukan adanya
infeksi, patogen, gangguan alergi.
9. EKG : deviasi aksis kanan,
peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronkitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emifisema), aksis vertikal QRS
(emfisema)
10. JDL (jumlah darah lengkap) dan
diferensial
Hemoglobin meningkat
(emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma) (Doenges, 2000 : 155).
I. Komplikasi
Komplikasi dari PPOM
menurut Tucker (1998 : 238) adalah
1.
Disritmia
2.
Gagal pernafasan akut
3.
Gagal jantung
4.
Kor pulmoner
5.
Edema perifer
6.
Hepatomegali
7.
Sianosis
8.
Distensi vena leher
9.
Murmur regurgitasi
10. Polisitemia
11. Peptik
dan refluks esofagus
Komplikasi
dari PPOM menurut Mansjoer (2000 : 481) infeksi yang berulang, pneumothoraks
spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronis, gagal nafas, dan cor
pulmonal.
Komplikasi
dari PPOM menurut Smeltzer (2002 : 596)
1.
Gagal atau insufisiensi pernapasan
2.
Atelektasis
3.
Pneumonia
4.
Pneumothoraks
5.
Hipertensi paru
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan
medis menurut Tucker (1998 : 238)
a.
Terapi oksigen
b. Berikan nafas buatan atau ventilasi
mekanik sesuai kebutuhan
c.
Fisioterapi dada
d.
Pengkajian seri GDA
e.
Obat-obatan
f.
Bronkodilator
g.
Antibiotik
h.
Kortikosteroid
i.
Diuretik
j.
Vaksinasi influensa
k.
Kardiotonik
2. Penatalaksanaan
keperawatan
Tindakan keperawatan menurut Doenges (2000 :
156-163), tindakan keperawatan yang penting pada pasien PPOM adalah fisioterapi
dada, batuk efektif, latihan nafas dalam, memberikan posisi semi fowler, cegah
terjadinya polusi lingkungan, kaji tingkat ketergantungan pasien, mendiskusikan
efek bahaya merokok dan menganjurkan pasien untuk menghindari rokok, tingkatkan
masukan cairan sampai 3000 ml/hari, diskusikan kebutuhan masukan nutrisi
adekuat.
K. Fokus Intervensi
Menurut Donges (2000 : 156)
fokus intervensi PPOM antara lain :
1. Inefektif bersihan jalan nafas
berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan
tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Tujuan yang
ditetapkan adalah mempertahankan potensi jalan nafas dengan kriteria hasil :
a. Mempertahankan jalan nafas paten dengan
bunyi nafas bersih dan jelas.
b. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas, misal : batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi inefektif bersihan jalan nafas adalah :
a.
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas.
b.
Pantau frekuensi pernafasan.
c.
Catat adanya derajat dypsnea.
d. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.
e.
Pertahankan polusi lingkungan minimum.
f.
Bantu latihan nafas abdomen.
g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000
ml/hari.
2. Kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Tujuan yang ditetapkan adalah mempermudah
pertukaran gas dengan kriteria hasil :
a. Pasien akan menunjukkan perbaikan
ventilasi dengan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal
dan bebas gejala distres pernafasan.
b.
Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan
dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas adalah :
a.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan
otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan bicara atau berbincang.
b.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih
posisi yang mudah untuk bernafas dan latihan nafas dalam.
c.
Kaji kulit dan warna membran mukosa.
d.
Dorong pengeluaran sputum.
e.
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran
udara dan bunyi tambahan.
f.
Awasi tingkat kesadaran atau status mental.
g.
Awasi tanda vital dan irama jantung.
h.
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi hasil
GDA dan intoleransi pasien.
3. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dypsnea, kelemahan efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Tujuan
yang ditetapkan adalah meningkatkan masukan nutrisi dengan kriteria hasil :
a. Pasien akan menunjukkan peningkatan berat
badan menuju tujuan yang tepat.
b. Pasien akan menunjukkan perilaku atau
perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang
tepat.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi
perubahan nutrisi adalah
a. Kaji kebiasaan diit, masukan makanan saat
ini.
b.
Auskultasi bunyi usus.
c.
Berikan perawatan oral, buang sekret.
d.
Dorongan periode istirahat selama 1 jam, sebelum dan
sesudah makan.
e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman
karbonat.
f.
Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
g. Timbang berat badan sesuai indikasi.
h.
Kaji pemeriksaan laboratorium.
i.
Konsul dengan ahli gizi.
4. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan
kerja silia, menetapnya sekret)
Tujuan yang diterapkan tidak ada tanda dan
gejala infeksi dengan kriteria hasil :
a.
Menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko
individu.
b.
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko individu.
c.
Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi infeksi adalah :
a.
Kaji suhu tubuh pasien
b.
Kaji pentingnya nafas dalam, batuk efektif, perubahan
posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
c. Kaji warna, karakter, bau sputum.
d. Ajarkan cuci tangan yang benar.
e.
Awasi pengunjung.
f.
Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
g. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi
adekuat.
5. Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurang informasi atau tidak mengenal sumber informasi, salah mengerti
tentang informasi, kurang mengingat atau keterbatasan kognitif.
Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan
tingkat pengetahuan dengan kriteria hasil :
a. Menyatakan pemahaman kondisi atau proses
penyakit dan tindakan.
b.
Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala yang ada dari
proses penyakit dan menghubungkan dengan faktor penyebab.
c. Melakukan perubahan pola hidup dan
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi masalah kurang pengetahuan adalah :
a.
Jelaskan proses penyakit individu.
b.
Diskusikan obat pernafasan, efek samping, dan reaksi
yang tak diinginkan.
c. Anjurkan menghindari agen sedatif anti
anestesi.
d. Tekankan pentingnya perawatan oral atau
kebersihan gigi.
e. Diskusikan pentingnya menghindari orang
yang sedang infeksi pernafasan akut.
f.
Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan
rokok pada pasien dan atau orang terdekat.
g.
Berikan reinforcement tentang pembatasan aktivitas.
Menurut Engram (1999 : 36)
fokus intervensi PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) antara lain :
1. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kerusakan pertukaran gas
Tujuan yang
ditetapkan adalah meningkatkan tingkat aktifitas dalam perawatan diri, dengan
kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam
melaksanakan aktifitas.
Intervensi yang
dilakukan untuk mengatasi intoleransi aktifitas adalah
a. Pantau
1) Nadi dan
frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
2) Hasil gas darah arteri
b. Lakukan penghematan energi dalam
melaksanakan prosedur-prosedur sebagai berikut :
1) Berikan
bantuan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan yang
diperlukan. Sediakan interval waktu memungkinkan istirahat di antara kegiatan.
Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan hasil gas darah arteri
depan dapat diantisipasinya dengan tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
dengan makanannya dikunyah.
Menurut
Carpenito (1999 : 116) diagnosa dan intervensi keperawatan pada PPOM adalah :
1. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan batuk, ketidakmampuan melakukan posisi terlentang, rangsangan
lingkungan.
Tujuan yang
ditetapkan adalah kebutuhan istirahat terpenuhi dengan kriteria hasil waktu
tidur rutin, kualitas dan kuantitas tidur baik.
Intervensi yang
dilakukan untuk mengatasi gangguan pola tidur
adalah
a. Jelaskan siklus tidur dan
signifikannya
1) Tahap I : tahap transisi antara bangun dan tidur
2) Tahap II : tidur tapi mudah terbangun.
3) Tahap III : tidur dalam lebih sulit terbangun.
4) Tahap IV : tidur paling dalam
b. Diskusikan perbedaan individu
dalam kebutuhan tidur menurut usia, gaya hidup, aktivitas dan tingkat stres.
c. Tingkatkan relaksasi, berikan
lingkungan yang tenang, beri ventilasi ruangan yang baik, tutup pintu ruangan
yang baik, tutup pintu ruangan pasien.
d. Bila diinginkan tinggikan kepala
tempat tidur setinggi 10 inci dan gunakan penopang bantal di bawah lengan.
e. Hindari pemberian cairan panas
atau dingin menjelang tidur.
BAB II
RESUME KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada
hari Kamis tanggal 05 Juni 2008 jam 08.00 WIB di ruang Multazam Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta. Data diambil dari pemeriksaan fisik pasien, wawancara
keluarga, perawat jaga dan dari catatan pasien
Identitas pasien : Ny. S, umur 70 tahun,
perempuan, status kawin, agama Islam, alamat Candi 5/XI, Cemani, Sukoharjo. Tanggal
masuk 03 Juni 2008, nomer register 153578, diagnosa medis PPOM. Identitas
penanggung jawab Tn. S, umur 35 tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan
buruh, hubungan dengan pasien anak kandung.
|
Pengkajian pola fungsional : biologis
pola oksigenasi : pasien sesak nafas, batuk kadang dahak bisa keluar kadang
tidak, warna kuning kental, batuk tampak sulit, pernafasan teratur dan dangkal,
terpasang O2 3 liter/menit. Pola cairan dan elektrolit : pasien mendapat terapi
cairan RL 20 tpm (2000 cc/hari), pasien sehari minum ± 800 cc/hari. Pola
nutrisi : sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari dengan porsi sedang, dengan
komposisi nasi, lauk, sayur, minum ± 1500 cc dalam sehari. Selama sakit : pasien makan 3 kali sehari habis ½
porsi dari rumah sakit ± 10 sendok, minum ± 800 cc dalam sehari. Pola eliminasi
: sebelum sakit : pasien BAB 1 kali sehari dengan kebiasaan pada pagi hari
dengan konsistensi lembek, warna kuning, dan berbau amoniak, BAK : 5-6 kali
sehari dengan warna kuning jernih dan berbau amoniak, selama sakit : selama 2
hari di rumah sakit pasien belum BAB, BAK selama masuk di rumah sakit 5 kali. Pola keamanan dan kenyamanan : sebelum
sakit : pasien tidak mengalami gangguan keamanan dan kenyamanan, pasien tinggal
serumah bersama anaknya. Selama sakit : pasien mengatakan aman dengan
keadaannya saat ini, dan selama di rumah sakit pasien ditunggui oleh
keluarganya, pasien tidak nyaman dengan sesak nafas dan batuknya saat ini. Pola
personal hygiene : sebelum sakit : pasien mandi 2 kali sehari, gosok gigi 2
kali sehari, keramas 2 kali seminggu, aktivitas secara mandiri. Selama sakit :
pasien mandi 2 kali sehari disibin oleh keluarga, gosok gigi dibantu oleh
keluarga, pasien bersih tidak berbau. Pola istirahat tidur : sebelum sakit
pasien tidur malam ± 7-8 jam sehari, tidur siang ± 1 jam sehari, pasien tidak
ada gangguan dalam pola istirahat tidur, dalam sehari pasien istirahat ± 3 jam
sehari, selama sakit : selama di rumah sakit pasien hanya istirahat di tempat
tidur, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak nafas dan batuknya, pasien
tidur malam ± 3-4 jam tetapi sering terbangun dan tidak bisa tidur siang,
pasien posisi setengah duduk. Pola aktivitas dan latihan : sebelum sakit pasien
beraktivitas secara mandiri, selama sakit pasien dalam beraktivitas dibantu
oleh perawat dan keluarga. Pada konsep diri : gambaran diri : pasien menerima
dengan apa yang dimilikinya saat ini. Ideal diri : pasien berharap sakitnya
cepat sembuh dan cepat pulang; harga diri : pasien mengatakan tidak mengalami
gangguan dengan harga dirinya. Peran diri : pasien berperan sebagai seorang
istri dan ibu dari 8 orang anak. Identitas diri : pasien berjenis kelamin
perempuan dan beragama Islam. Pola seksual : pasien memiliki 8 orang anak,
sudah tidak haid sejak ± 30 tahun yang lalu pasien mengatakan tidak mengalami
gangguan reproduksi. Psikologis : pasien mengatakan tidak cemas dengan
keadaannya saat ini, pasien berharap ingin cepat sembuh. Sosial : pasien
mengatakan interaksi dan hubungan antar anggota keluarga dan masyarakat terjalin
baik. Spiritual dan kultur : pasien mengatakan beragama Islam dan menjalankan
ibadah sesuai perintah agama dan tidak ada budaya yang bertentangan dengan
kesehatan. Pengetahuan : pasien mengatakan mengerti dengan sakitnya setelah
diberitahu oleh dokter dan perawat.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum baik, kesadaran composmentis, tanda-tanda
vital : TD : 110/70 mmHg, S : 36,6°C, N :90 x/menit, RR : 28 x/menit. Kepala :
kulit kepala bersih, rambut panjang beruban, kepala tidak ada lesi. Mata : konjungtiva an anemis, simetris,
pupil isokor, sklera an ikterik. Hidung : simetris, tidak ada sekret, tidak ada
polip, terpasang O2 3 liter/menit. Telinga : simetris, tidak ada
serumen, bersih, fungsi pendengaran baik. Mulut : bersih, tidak ada serumen,
tidak ada gigi palsu. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid. Thorak :
inspeksi paru : pengembangan dada kanan sama dengan kiri, palpasi : fremitus
raba kanan sama dengan kiri, perkusi : pekak, auskultasi : ronkhi. Jantung :
inspeksi jantung : ictus cordis tidak tampak, palpasi : ictus cordis tidak kuat
angkat, perkusi : batas jantung tidak melebar, auskultasi : bunyi jantung I
sama dengan bunyi jantung II. Abdomen : inspeksi : tidak ada lesi, bersih,
tidak ada asites, auskultaasi : bising usus 20 x/menit, palpasi : tidak ada
massa, tidak ada nyeri tekan, perkusi : tympani. Ekstremitas atas : pada tangan
kiri terpasang infus RL 20 tpm, ekstremitas atas tidak ada gangguan, tidak ada
oedem, tidak ada lesi ; bawah : tidak ada oedem, tidak ada lesi, dapat berfungsi
dengan baik. Genitourinaria : bersih, tidak terpasang DC. Kulit : integritas
kulit baik, tidak ada lesi, warna sawo matang.
Pemeriksaan penunjang : hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 3 Juni 2008.
Hematologi : leukosit 8000/mm3 (normal : 4000-11.000 /mm3),
hemoglobin 10,2 g/dl (normal : 11,5-16,5 g/dl), eritrosit 3,91 /mm3
(normal : 4,0-5,0 /mm3), hematokrit : 32 % (normal 37-43 %),
trombosit 428.000 /mm3 (normal : 150.000-400.000 /mm3, LED 1 jam :
99 mm/jam (normal : 0-15 mm/jam). Hemogram : eosinofil 1 % (normal 1-3 %),
basofil -% (normal 0-1 %), staf 2 % (normal 2-5 %), segmen 77 % (normal : 50-70
%), lymphosit 19 % (normal 20-40 %), monosit 1 % (normal 2-6 %). Kimia darah :
SGOT : 14 u/l (normal < 31 u/l), SGPT 41 u/l (normal < 31 u/l), ureum 24,8
mg/dl (normal 10-50 mg/dl), kreatinin 0,8 mg/dl (nomal 0,6-1,1 mg/dl), gula
darah sewaktu 126,2 mg/dl (normal 70-115 mg/dl). Hasil pemeriksaan radiologi :
pemeriksaan yang diminta : thorax PA, hasil : thorax : radiologis KP duplek
lama aktif dengan pleural efusi dekstra; besar cor normal. Terapi : volequin
100 ml/12 jam, lasix 2 ml/12 jam, vitamin C 2 ml/12 jam, medixon 1 gr/8 jam, nebuliser
atroven 10 tetes, berotec 10 tetes ditambahkan aquadest 2 cc, RL 20 tpm (2000
cc/hari), theobion 3 x 1 sendok teh, O2 3 liter/menit, aminophilin
kalau perlu.
B. Analisa Data dan Masalah Keperawatan
No
|
Data
|
Problem
|
Etiologi
|
1.
|
Data subyektif :
a. Pasien mengatakan sesak dan batuk
Data
obyektif :
a. RR : 28 x/menit, teratur dan dangkal.
b. Terpasang O2 3 liter/menit
c. Pasien dalam posisi setengah duduk
I : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri
P : Fremitus raba kanan sama dengan kiri
P : Pekak
A :Ronkhi
|
Ketidakefektifan
pola nafas
|
Penurunan
ekspansi paru
|
2.
|
Data subyektif :
a. Pasien
mengatakan dahaknya kadang bisa keluar dan kadang tidak bisa
b. Pasien
mengatakan dahaknya warna kuning kental
c. Pasien mengatakan sesak nafas
Data
obyektif :
a. Terpasang O2 3 l/menit
b. Pasien tampak batuk dan dahak sulit untuk
dikeluarkan
c. RR : 28 x/menit
d.pemeriksaan
fisik paru didapatkan bunyi ronkhi
|
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
|
Penumpukan sputum
|
3.
|
Data subyektif :
a. Pasien
mengatakan memiliki riwayat merokok ± 10 tahun
b. Pasien mengatakan sakitnya sejak ± 1 bulan
yang lalu
Data
obyektif :
Hasil pemeriksaan laboratorium :
a. LED
1 jam : 99 mm/jam, N : 0-15 mm/jam
b. Lymfosit
: 19 %, N : 20-40 %
c. Monosit
: 1 %, N : 2-6 %
d. SGOT
: 45 u/l, N : < 31 u/l
e. SGPT
: 41 u/l, N : < 31 u/l
|
Infeksi
|
Tidak adekuatnya
imunitas
|
4.
|
Data subyektif :
a. Pasien mengatakan sulit tdur karena sesak nafas dan batuk, tidur malam
± 3-4 jam tapi sering terbangun dan tidak bisa tidur siang
Data obyektif :
a. TD : 110/70 mmHg
N : 90 x/menit
S : 36,6°C
RR : 28 x/menit
|
Gangguan pola
tidur
|
Sesak nafas dan
batuk
|
Berdasarkan kepada
analisa data di atas maka urutan prioritas diagnosa keperawatan adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan penumpukan sputum.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan penurunan ekspansi paru.
3. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
imunitas.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak
nafas dan batuk.
C. Intervensi
Keperawatan, Implementasi, dan Evaluasi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan
yang ditetapkan bersihan jalan nafas pasien kembali normal setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Kriteria hasil yang diharapkan suara
nafas normal (vesikuler, bronkovesikuler, bronkeal), tidak ada sputum.
Rencana
tindakan yang ditetapkan kaji bersihan jalan nafas, monitor tanda-tanda vital,
ajarkan fisioterapi dada, anjurkan untuk minum air hangat, kolaborasi pemberian
obat bronkodilator.
Implementasi
: mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, mengajarkan batuk efektif,
dan menganjurkan masukan cairan yang adekuat.
Evaluasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari, subyektif : pasien
mengatakan dahaknya keluar, obyektif : suara nafas ronkhi, dahak kuning kental,
assesment : masalah keperawatan bersihan jalan nafas teratasi sebagian,
planning : intervensi dilanjutkan dengan kolaborasi pemberian bronkodilator.
2. Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan yang ditetapkan pola nafas pasien kembali normal setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Kriteria hasil yang diharapkan
respirasi normal 16-24 jam, pasien tidak sesak nafas.
Rencana tindakan yang ditetapkan kaji pola nafas dan tanda-tanda vital,
ajarkan teknik relaksasi dan nafas dalam, berikan posisi semi fowler, berikan
oksigen sesuai terapi, kolaborasi pemberian obat bronkodilator.
Implementasi : mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, memberikan
posisi semi fowler.
Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari subyektif :
pasien mengatakan masih sesak nafas, obyektif : pasien dalam posisi semifowler,
pasien terpasang oksigen 3 liter/menit, assesment : masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas
teratasi sebagian. Planning : lanjutkan intervensi dengan berikan oksigen 3
liter/menit, berikan posisi yang nyaman, kolaborasi pemberian obat
bronkodilator.
3. Infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya imunitas
Tujuan yang
ditetapkan pasien tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 am. Kriteria hasil yang diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi
(kemerahan, panas, nyeri, peradangan, perubahan fungsi).
Rencana tindakan
yang ditetapkan kaji tanda-tanda vital, kaji tanda-tanda infeksi, lakukan
pemeriksaan laboratorium rutin, anjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat,
anjurkan untuk banyak istirahat, kolaborasi pemberian antibiotik.
Implementasi : monitor tanda-tanda vital, mengobservasi
hasil laboratorium, menganjurkan untuk masukan nutrisi adekuat, menganjurkan
untuk banyak istirahat.
Evaluasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari, subyektif : pasien mengatakan
nyeri saat buang air kecil, pasien mengatakan dahaknya berwarna kuning kental.
Obyektif : -, assesment : intervensi dilanjutkan dengan kolaborasi pemberian
antibiotik, anjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat, lakukan pemeriksaan
laboratorium rutin.
4. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan sesak nafas dan batuk.
Tujuan yang diharapkan : pasien tidak mengalami perubahan pola tidur
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Kriteria hasil :
pasien dapat tidur tanpa ada gangguan tidur.
Rencana tindakan yang diberikan kaji pola tidur pasien, berikan lingkungan
yang nyaman, hindari untuk tidak minum air hangat sebelum tidur, berikan posisi
semi fowler, batasi pengunjung.
Implementasi : mengkaji pola tidur, memberikan posisi semi fowler,
menganjurkan untuk menghindari minum air hangat sebelum tidur.
Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari, subyektif :
pasien mengatakan belum bisa tidur, obyektif : pasien tampak duduk. Assesment :
masalah keperawatan gangguan pola tidur belum teratasi, planning : intervensi
dilanjutkan dengan ciptakan lingkungan yang nyaman, dan batasi pengunjung.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam bab
ini akan dibahas diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny. S dengan PPOM
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam berdasarkan diagnosa
keperawatan yang muncul.
A. Masalah yang Muncul dalam Kasus
1. Ketidakefekfitan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah suatu kondisi atau keadaan di
mana individu mengalami ancaman pada kondisi pernafasannya berkaitan dengan
ketidakmampuan batuk secara efektif (Carpenito, 2000 : 799). Hipertropi dan
hiperplasia kelenjar mukosa akibat iritasi kronis menyebabkan pembentukan
lendir yang berlebihan dan kerusakan
gerakan siliaris menyebabkan penumpukan lendir mengakibatkan terganggunya jalan
nafas (Asih, 2004 : 101). Penyempitan saluran nafas ini terjadi karena
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus yang menyebabkan elastisitas paru
berkurang (Tambayong, 2000 : 05).
|
Diagnosa ini dijadikan sebagai prioritas utama karena ini merupakan situasi
yang mengancam kehidupan dan memerluan tindakan segera (Carpenito, 1999 : 128).
Sedangkan menurut maslow kebutuhan
oksigenasi termasuk kebutuhan fisiologi yang terletak pada urutan pertama dan
harus segera ditangani.
Tujuan yang penulis tetapkan adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas
teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Tindakan ini
sangat penting agar sekret bisa keluar dan masalah pernapasan tidak tersumbat
atau terganggu membutuhkan waktu yang cukup sampai pernafasan pasien kembali
normal. Penulis hanya membatasi 2 x 24 jam, diharapkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan masalah bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria
suara nafas normal (vesikuler, bronkovesikuler, bronkial), sehingga tidak ada
sputum.
Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas adalah :
a. Observasi jalan nafas. Auskultasi bunyi
nafas digunakan untuk mengetahui beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas dan dapat atau tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas
tidak normal (Doenges, 2000 158).
b. Monitor tanda-tanda vital terutama
respirasi rate untuk mengidentifikasi indikasi ke arah kemajuan atau
penyimpangan dari yang diharapkan (Engram, 1999 : 442).
c. Ajarkan batuk efektif yang bertujuan untuk
menurunkan terjadinya infeksi paru (Doenges, 2000 : 161).
d. Berikan masukan cairan yang banyak untuk
hidrasi dan membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran,
penggunaan cairan hangat sangat menurunkan spasme bronkus (Doenges, 2000 :
156).
e. Berikan obat sesuai indikasi
(bronkodilator)
Tindakan ini berkolaborasi
dengan dokter yang dapat merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,
menurunkan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa (Doenges, 2000 : 156).
Dari rencana tindakan yang sudah ditetapkan, tindakan yang dilakukan yaitu
mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, mengajarkan batuk efektif dan
menganjurkan masukan cairan yang adekuat. Tindakan tersebut dapat terlaksana
karena pasien dan keluarga mampu bekerjasama dan juga tersedianya peralatan
atau fasilitas dari rumah sakit. Untuk rencana tindakan berikan obat sesuai
indikasi (bronkodilator) tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan waktu
untuk melakukan tindakan.
Hasil observasi proses yang didapatkan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 shift jaga yaitu pasien mengatakan dahaknya keluar, warna
kuning kental, suara nafas vesikuler, dan dari data tersebut dapat disimpulkan
masalah teratasi sebagian karena belum sesuai dengan apa yang diharapkan
sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi (bronkodilator).
2. Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Pola nafas tidak efektif adalah suatu kondisi di mana individu mengalami
aktual atau potensial tidak adekuatnya ventilasi berhubungan dengan perubahan
pola nafas (Carpenito, 1998 : 802). Keterbatasan ekspansi total paru-paru,
volume statis paru berkurang atau menghilang sebagai akibat penurunan
kompliance paru atau thoraks (Potter, 2005 : 1155).
Diagnosa ini ditegakkan karena terdapat data yang mendukung diantaranya
pasien mengatakan sesak nafas dan batuk, pernafasan teratur dan dangkal,
respirasi rate 28 x/menit, terpasang oksigen 3 liter/menit, pasien dalam posisi
setengah duduk dari pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi : pekek dan
auskultasi : ronkhi, pasien mengatakan sesak nafas, penyebab sesak nafas ini
adalah berkurangnya volume paru, juga berkurangnya elastisitas paru serta
terhambatnya ekspansi paru (Danusanto, 2000 : 7). Penulis akan menambahkan data
yang mendukung yang belum terdokumentasi pada analisa data yaitu perubahan nadi
(frekuensi, irama dan kualitas), ortopnea, takipnea, hipernea, hiperventilasi,
irama pernafasan tidak teratur, pernafasan yang berat (Carpenito, 1998 : 802).
Berdasarkan data-data di atas penulis memprioritaskan diagnosa ini sebagai
diagnosa yang kedua, karena setelah ketidakefektifan pola nafas tidak terjadi
dan urutan prioritas menurut Doenges et all (2000 : 153) ketidakefektifan pola
nafas diatasi setelah jalan nafas teratasi, agar pernafasan tidak terganggu dan
pasien dapat bernafas.
Tujuan yang penulis tetapkan adalah ketidakefektifan pola nafas teratasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam. Tindakan ini sangat penting
karena jika terjadi gangguan pola nafas maka akan terjadi gangguan dalam
ventilasi. Penulis hanya membatasi 2 x 24 jam, diharapkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan masalah pola nafas teratasi dengan kriteria hasil pasien
tidak sesak nafas dan respirasi normal 16-24 x/menit.
Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan
pola nafas adalah :
a. Observasi
pola nafas : observasi pola nafas berguna dalam evaluasi derajat
distress pernafasan dan atau kronisnya proses penyakit (Doenges, 2000 : 158).
b. Monitor tanda-tanda vital terutama
respirasi rate untuk mengidentifikasi indikasi ke arah kemajuan atau
penyimpangan dari hasil yang diharapkan (Engram, 1999 : 442).
c. Berikan posisi semi fowler, duduk tinggi
memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan
ambulasi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas (Doenges, 1999 : 178).
d. Berikan oksigenasi sesuai terapi :
memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
e. Kolaborasi pemberian obat (humidifikasi
tambahan misal nebuliser) yang
memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret untuk
memudahkan pembersihan (Doenges, 1999 : 178).
Dari rencana tindakan yang sudah ditetapkan, tindakan yang dilakukan yaitu
mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, memberikan posisi semi fowler.
Tindakan tersebut bisa terlaksana karena pasien dan keluarga kooperatif dan
adanya partisipasi dari perawat ruangan. Untuk rencana tindakan berikan oksigen
sesuai terapi, dan kolaborasi pemberian obat tidak dilaksanakan karena oksigen
sudah terpasang dan pemberian obat bronkodilator diberikan tiap 8 jam yaitu
13.00, 21.00 dan 05.00 WIB.
Hasil evaluasi proses yang didapatkan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 shift jaga yaitu pasien mengatakan masih sesak nafas.
Pasien dalam posisi semi fowler dan terpasang oksigen 3 liter/menit dan dari
data tersebut dapat disimpulkan masalah teratasi sebagian karena belum sesuai
dengan apa yang diharapkan sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu
berikan oksigen 3 liter/menit, berikan posisi yang nyaman dan kolaborasi
pemberian obat bronkodilator.
3. Infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya imunitas
Di sini penulis melakukan pembenaran pada problem diagnosa ketiga yaitu
resiko tinggi infeksi karena diagnosa infeksi merupakan diagnosa potensial
komplikasi (NANDA, 2001-2002 : 510, dan dari data ditemukan pasien mengatakan
memiliki riwayat merokok ± 10 tahun, sakitnya sejak ± 1 bulan yang lalu, dari
hasil pemeriksaan laboratorium LED 1 jam = 99 mm/jam mengalami peningkatan,
karena angka normalnya 0-15 mm/jam, lymfosit dan monosit di bawah angka normal.
Lymfosit 19 %, normalnya 20-40 %, monosit 1 % normalnya 2-6 %, SGOT dan SGPT
juga mengalami peningkatan SGOT 45 u/L yang normalnya < 31 u/L, SGPT 41 u/L
yang normalnya < 31 u/L. Kemungkinan SGOT meningkat karena infark miokard
akut, ensefalitis, nekrosis hepar, penyakit dan trauma muskuloskeletal,
pankreatitis akut, eklamsi, obat antibiotik, narkotik dan vitamin
antihipertensi. SGPT meningkat karena hepatitis virus akut, hepatotoksisitas,
obat antibiotik, narkotik (Kee, J.L., 1998 : 7). Pada Ny. S mungkin terjadi
gangguan hati yang menyebabkan nilai SGOT dan SGPT meningkat.
Pada resume keperawatan diagnosa resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
tidak adekuatnya imunitas menjadi diagnosa ketiga karena infeksi adalah keadaan
di mana seorang individu beresiko terserang oleh agen patogenik atau
oportunistik (virus, jamur, bakteri, protozoa atau parasit lain) dari
sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen dan eksogen.
NANDA (2001-2001 : 520 berpendapat bahwa resiko tinggi infeksi adalah
resiko bertambahnya sekumpulan organisme patogen. Masalah ini muncul pada Ny. S
karena adanya tempat masuknya organisme sekunder terhadap adanya jalur infasif.
Potter (2005 : 1157) berpendapat bahwa pasien di rumah sakit rentan untuk
terkena infeksi dari pada orang sehat sehingga mereka mudah terkena
mikroorganisme patogen di lingkungan rumah sakit.
Tujuan yang penulis tetapkan adalah tidak terjadi infeksi setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Tindakan ini juga penting karena
apabila masalah ini tidak dicegah akan terjadi infeksi. Penulis hanya membatasi
2 x 24 jam, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
tandat-tanda infeksi (kemerahan, panas, nyeri, peradangan, perubahan fungsi).
Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah :
a. Observasi tanda-tanda vital terutama suhu
untuk mengidentifikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan (Engram, 1998 : 38).
b. Observasi tanda-tanda infeksi. Terapi
glukortikoid, disfungsi ginjal, hati, penyakit neoplastik, penyakit jantung
reumatik, disfungsi katub, dan diabetes melitus dapat mencetuskan septicsemia.
Menyadari terhadap infeksi ditukarkan akan memberikan informasi untuk melakukan
tindakan protektif (Doenges, 2000 881).
c. Observasi hasil laboratorium, terutama
leukosit karena peningkatan leukosit dapat menyebabkan infeksi (Doenges, 2000 :
673).
d. Anjurkan untuk masukan nutrisi yang
adekuat. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi (Doenges, 1999 : 161).
e. Anjurkan untuk banyak istirahat.
Menurunkan konsumsi atau kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki
pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan (Doenges, 1999 :
161).
f. Kolaborasi pemberian antibiotik yang
bertujuan untuk membasmi atau memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum
atau penyakit khusus (Doenges, 2000 : 875).
Dari rencana tindakan keperawatan di atas, tindakan yang sudah dilakukan
yaitu memonitor tanda-tanda vital, mengobservasi hasil laboratorium,
menganjurkan untuk masukan nutrisi adekuat, menganjurkan untuk masukan nutrisi
adekuat menganjurkan untuk banyak istirahat. Tindakan tersebut bisa terlaksana
karena pasien atau fasilitas rumah sakit. Untuk rencana tindakan kolaborasi
pemberian antibiotik tidak dilaksanakan karena keterbatasan waktu untuk
melaksanakan tindakan. Selain rencana tindakan di atas dilakukan tindakan
kolaborasi pemberian vitamin C karena salah satu fungsinya dapat meningkatkan
daya tahan tubuh (Enggram, 1998 : 39).
Hasil evaluasi proses dari masalah tersebut dari pelaksanaan selama 1 shift
jaga yaitu pasien mengatakan nyeri saat buang air kecil dan dahak berwarna
kuning kental. Dari data tersebut dapat disimpulkan masalah infeksi belum
teratasi sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu kolaborasi pemberian
antibiotik, anjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat, lakukan pemeriksaan
laboratorium rutin.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan
sesak nafas dan batuk
Di sini penulis melakukan pembenaran
pada etiologi diagnosa keempat yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan
ansietas
Gangguan pola tidur adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau
mempunyai resiko mengalami perubahan dalam jumlah dan kualitas pola istirahat
yang menyebabkan ketidaknyaman atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan
(Carpenito, 1999 : 909). Cemas adalah perasaan gelisah yang tidak jelas dari
ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon autonom (sumber tidak
spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan keprihatinan disebabkan
dari antisipasi terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman
yang akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk
menyetujui terhadap tindakan (NANDA, 2001-2002 : 27).
Diagnosa ini muncul pada Ny. S karena pasien mengatakan sulit tidur karena
sesak nafas dan batuk, tidur malam ± 3-4 jam tapi sering terbangun dan tidak
bisa tidur siang, dari pemeriksaan didapatkan tekanan darah : 110/70 mmHg, nadi
: 90 x/menit, suhu : 36,6°C, respirasi rate : 28 x/menit. Penulis juga
menambahkan dari data yang belum tertulis yaitu pasien mengatakan cemas dengan
keadaan saat ini.
Tujuan yang penulis tetapkan adalah gangguan pola tidur teratasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Tindakan ini juga penting
agar pola tidur tidak terganggu, dan membutuhkan waktu yang cukup sampai
kebutuhan tidur terpenuhi. Penulis hanya membatasi 3 x 24 jam diharapkan
setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat tidur tanpa ada gangguan
tidur.
Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah :
a.
Kaji pola tidur pasien. Mengkaji perlunya dan
mengidentifikasi intervensi yang tepat (Doenges, 1999 : 930).
b.
Berikan lingkungan yang nyaman. Meningkatkan kenyamanan
tidur serta dukungan fisiologis atau psikologis (Doenges, 1999 : 930).
c.
Anjurkan menghindari pemberian cairan panas atau dingin
menjelang tidur. Tindakan ini membantu mencegah rangsang batuk dan gangguan
tidur (Carpenito, 1999 : 116).
d.
Berikan posisi semi fowler. Hal ini dapat meningkatnya
relaksasi dan tidur dengan memberi ruang pada paru-paru maka lebih besar
pengembangan melalui penurunan tekanan maka lebih besar pengembangan melalui
penurunan tekanan ke atas organ-organ abnormal (Carpenito, 1999 : 116).
e.
Batasi pengunjung. Memberikan situasi kondisi untuk
tidur (Carpenito, 1999 : 116).
Dari rencana tindakan yang sudah
ditetapkan, tindakan yang dapat dilakukan yaitu mengkaji pola tidur, memberikan
posisi semi fowler, menganjurkan untuk menghindari minum air hangat sebelum
tidur. Tindakan tersebut bisa terlaksana karena pasien dan keluarga kooperatif
dan adanya peran serta perawat ruangan yang membantu. Rencana tindakan yang
belum dilakukan adalah berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung,
karena adanya keterbatasan waktu.
Hasil evaluasi proses dari masalah
tersebut dari pelaksanaan selama 1 shift jaga yaitu pasien mengatakan belum
bisa tidur, pasien tampak duduk. Dari data tersebut dapat disimpulkan masalah
gangguan pola tidur belum teratasi sehingga rencana tindakan dipertahankan
yaitu ciptakan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah
penulis memberikan asuhan keperawatan pada Ny. S dengan PPOM di ruang Multazam
RS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan menggunakan metode pendekatan proses
keperawatan kemudian mengadakan pembahasan, maka berdasarkan uraian di atas
penulis dapat menarik kesimpulan serta memberikan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
- Pada
pasien dengan PPOM yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan nafas
karena penumpukan sekret. Setelah diajarkan batuk efektif pasien dapat
meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret yang akan mencegah resiko
terjadinya infeksi paru. Bisa juga memberikan minum air hangat yang
adekuat untuk mengencerkan kekentalan sekret dan mempermudah pengeluaran
selain itu juga memberikan obat mukolitik untuk pengencer dahak.
- Pada
pasien dengan PPOM yang mengalami ketidakefektifan pola nafas karena
penurunan ekspansi paru setelah dilakukan perubahan posisi semi fowler,
dengan duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan pengisian udara segmen paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
-
48
- Pada
pasien dengan PPOM yang mengalami gangguan pola tidur karena sesak nafas
dan batuk. Setelah dianjurkan untuk menghindari pemberian cairan panas
atau dingin menjelang tidur. Tindakan ini membantu mencegah rangsang batuk
dan gangguan tidur dan setelah diberikan
posisi semi fowler dapat meningkatkan relaksasi dan tidur dengan memberi
ruang pada paru-paru maka lebih besar pengembangan melalui penurunan
tekanan ke atas organ-organ abnormal,dan perlu adanya penjelesan tentang
proses penyakit untuk menurunkan kecemasan yang dialami oleh pasien.
- Faktor-faktor
yang mendukung keberhasilan proses keperawatan pada Ny. S ialah
diberikannya izin dari lahan pratek serta kerjasama yang baik antara
pasien, keluarga, tim kesehatan lain sehingga penulis dapat melaksanakan
asuhan keperawatan dengan baik.
- Selain
faktor pendukung yang menjadi faktor penghambat ialah adanya keterbatasan
sarana dan prasarana serta keterbatasan waktu dalam melakukan asuhan
keperawatan.
B. Saran
Berdasarkan
hasil-hasil di atas penulis memberikan saran pada perawat bangsal antara lain :
- Perlu adanya peningkatan dalam penjelasan dan menganjurkan minum air
hangat yang adekuat supaya sekret kental menjadi encer dan mudah untuk
keluar dan untuk mencegah resiko terjadiya infeksi paru, selain itu
perawat harus teratur dalam pemberian obat mukolitik.
- Perlu meningkatkan dalam pemeriksaan diagnostik pada Ny. S dengan
kasus PPOM. Kelengkapan pemeriksaan diagnostik sangat penting, baik pada
saat pasien datang maupun pemeriksaan rutin perhari, seharusnya
pemeriksaan diagnostik dilakukan lengkap sesuai penyakit dan kondisi
pasien agar dapat ditegakkan diagnosa medis keperawatan yang pasti,
pemeriksaan diagnostik juga dapat dilakukan untuk memantau perkembangan
penyakit pasien jika terdapat komplikasi. Untuk mencapai hal tersebut tim
perawat bisa mengusulkan untuk pemeriksaan diagnostik secara lengkap serta
tindakan kolaboratif lain yang dilakukan secara interdisiplin.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking